.1 Letak dan Lingkungan
Tukad Pakerisan dan Tukad Petanu adalah dua buah sungai yang mengalir di sebelah timur dan barat Desa Buruan, yang sejak dahulukala mendapatkan sumber air yang tidak ada hentinya dari kaki pegunungan Kintamani. Kedua sungai ini menjadi terkenal di kalangan para ahli arkeologi dan sejarah Bali Kuno, bahkan juga kalangan para ahli kebudayaan Bali, karena kawasan di antara kedua sungai ini yang
membentang dari utara desa Tampaksiring hinga ke pantai selatan Gianyar, terbukti memiliki kandungan bukti-bukti kelahiran awal peradaban Bali yang sangat signifikan. Kawasan ini dapat juga disebut sebagai kawasan budaya, terutama kerena mempunyai populasi peninggalan arkeologi yang amat padat dan beragam, baik secara kunatitatif maupun kualitatif, antara lain tersebar di desa-desa Panempahan, Manukaya (Tampaksiring). Pejeng, Bedulu dan Kutri (Buruan), hingga desa-desa pesisir pantai selatan, seperti desa Lebih, Keramas, Saba, dan Tewel. Oleh karena itu, kedua sungai tersebut di atas seringkali disejajarkan dengan sungai Gangga dan Jamuna di India, karena terbukti merupakan pusat kebudayaan India kuno.
Pada umumnya hampir semua peninggalan arkelogi yang terdapat di kawasan tersebut di atas sampai sekarang masih berfungsi sakral (living sacred monuments) bagi masyarakat setempat. Sebagai contoh disebutkan, ialah Pura Pegulingan, Pura Tirtha Empul, Prasada Mangening, Candi Tebing Gunung Kawi (Tampaksiring), Pura Goa Gajah, Pura Penataran Sasih, Pura Pusering Jagat, Pura Kebo Edan (Pejeng), Pura Samuan Tiga (Bedulu), Pura Bukit Dharma Kutri dan lain-lainnya. Oleh karena itu, kawasan di antara Tukad Pakerisan dan Petanu seringkali disebut juga sebagai kawasan suci atau kawasan sakral (sacred topography) yang penting dalam kehidupan beragama masyarakat Bali sejak dahulukala hingga sekarang. Kenyataan semacam ini, telah ditunjukkan oleh para ahli arkeologi yang melakukan penelitian sejak permulaan abad 20 yang lalu. Berbagai ragam peninggalan arkeologi yang dapat disaksikan dewasa ini, adalah warisan budaya yang merupakan saksi sejarah masa lalu yang sebenarnya dapat menjadi penutur perkembangan dinamika dan kreativitas budaya nenek moyang yang berlangsung secara bertahap terutama seni kerajinan, seperti seni pahat dan lain-lainnya.
Pura Bukit Dharma terletak di Banjar (Dusun) Kutri, Desa Buruan, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Giahyar, Propinsi Bali. Atau situs ini terletak di antara koordinat 80 30’ Bujur Timur dan 80 30’-80 40’ Lintang Selatan dengan ketinggian 193 meter dari permukaan air laut. Banjar Kutri adalah salah satu banjar yang terletak di ujung utara desa Buruan. Sebenarna situs Pura Bukit Dharma Kutri terdiri atas empat buah pura, yaitu Pura Puséh, Pura Ulun Carik, Pura Bukit Dharma, dan Pura Kédarman. Pura Puseh Desa terletak pada halaman ke dua (jabe tengah), Pura Ulun Carik dan Pura Bukit Dharma pelatarannya lebih tinggi dari Pura Ulun Carik dan Pura Kedarman terletak pada pelataran yang paling tinggi, karena terletak di atas bukit. Pura Kédarman dapat dicapai setelah melalui anak tangga sebanyak 102 buah dan tanjakannya cukup tajam. Pura Kedarman terletak pada ketinggian 193 mater di atas permukaan laut.
Komplek Pura Bukit Dharma mudah dicapai karena terletak di pinggir jalan raya Gianyar Denpasar atau 4 kilometer di sebelah barat Kota Gianyar dan 24 kilometer dari Denpasar. Di depan pura terpancang sebuah papan nama yang berbunyi Kahyangan Jagat ”Pura Durga Kutri”. Sebenarnya yang dimaksud dengan nama itu adalah untuk menunjukkan kompleks Pura Bukit Dharma Kutri. Hal itu dapat dimaklumi karena pada salah satu pura itu (Pura Kédarman) menyimpan sebuah arca Durga Mahisasuramardhini.
Bukit tempat didirikan komplek Pura Bukit Dharma ditumbuhi beberapa jenis pohon kayu berdaun rimbun seperti pohon beringin, kepih, dan lain-lainnya, sehingga bukit itu terhindari dari erosi.
Kompleks Pura Bukit Dharma menyimpan peninggalan arca-arca antara lain Durga Mahisasuramardini, Amoghapasa, Ganesa, arca Bhatara, dan arca Buddha. Menurut Stutterheim arca-arca yang tersimpan di kompleks Pura Bukit Dharma dimasukkan dalam arca-arca kelompok Kutri yang diperkirakan berasal dari abad X-XIII M. (Stutterheim, 1929 : 116-117). Bangunan yang tergolong kuna di komplek Pura Bukit Dharma tidak ada lagi berdiri karena bangunan yang ada sekarang semuanya tergolong baru. Tetapi terdapat petunjuk rupa-rupanya pada jaman yang lampau di tempat itu pernah berdiri bangunan candi, karena dalam Prasasti Peguyangan terdapat keterangan yang menyebutkan sanghyang candi i burwan (Callenfels, 1926 : 19).
Selain prasasti Peguyangan masih terdapat prasasti lainnya untuk mengungkap situs Kutri (Buruan), yaitu prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Anak Wngsu yang memerintah di Bali tahun Saka 971-999, prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Jayapangus yang pernah memerintah di Bali tahun Saka 1099-1103 dan prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Patih kbo Parud yang pernah memerintah di Bali tahun Saka 1218-1222 (Goris, 1948 : 9-14).
Prasasti lain yang ada hubungannya dengan raja suami istri Gunapriya Dharmapatni dan Udayana (ayah-bunda Marakata dan Anak Wungsu), yaitu Prasasti Tengkulak A. Prasasti itu menyebutkan pada mulanya raja suami istri dicandikan bersama-sama di Banu Wka (Ginarsa 1961 : 3-17).
Prasasti dapat memberikan data kesejarahan dan mengidentifikasikan seni arca. Demikianlah halnya dengan ungkapan bhatari lumah i burwan dipergunakan untuk mengidentifikasikan arca Durga Mahisasuramardhini yang di simpan di Pura Bukit Dharma. Dari prasasti dapat pula diketahui bahwa di Pura Bukit Dharma Kutri (Burwan) pernah sebagai tempat kediaman pendeta agama Buddha.
Kata Darma (dharma bahasa Sansekerta) yang terkandung pada nama Pura (Bukit Darma dan Kédarman) memberikan petunjuk, bahwa Pura Bukit Dharma sebagai tempat pemujaan arwah (roh) seorang tokoh penting pada jamannya. Selain arca itu di sekitar Pura Kédarman ditemukan batu-batu candi yang salah satu di antaranya berbentuk ambang pintu. Di Pura Kédarman yang terletak di puncak bukit itu mungkin dahulu didirikan sebuah candi yang dalam prasasti Peguyangan disebut sanghyang candi i burwan (Soekmono, 1974 : 225; Callenfels, 1926 : 19).
1.2 Struktur Pura
Pura adalah sebuah tempat suci, sehingga bentuk dan strukturnya didasarkan atas konsep filosofis sebagai landasannya. Pada intinya, landasan filosofisnya berdasarkan kosmologis Hindu yang memandang, bahwa dunia ini terdiri atas susunan yang berlapis-lapis disebut loka dan tala, sebagai replika dari makro-kosmos atau dunia. Pura di bagi menjadi beberapa halaman (mandala) sebagai simbol loka dan tal. Seperti pura dengan dua halaman (mandala), yaitu jaroan (hulu), dan jaba (hilir) sebagai simbol dari alam atas (swah), dan alam bawah (bhur). Pura dengan tiga halaman (mandala) adalah simbol tri loka, yaitu bhur loka, bwah loka dan swah loka. Di samping itu, halaman (mandala) dilengkapi dengan bangunan, pelinggih, bangunan pelengkap, dan bangunan penunjang. Pemisahan masing-masing halaman (mandala) ditandai dengan tembok penyengker, candi bentar, dan kori agung sebagai penghubungnya.
Demikian halnya dengan Pura Bukit Darma, tidak secara tegas menunjukkan konsep tri loka, tetapi merupakan kompleks pura dengan halaman-halaman (mandala) sebagai berikut.
1. Mandala Jaba
Mandala ini adalah sisi terluar, dan di mandala terdapat beberapa pelinggih dan bangunan pelengkap sebagai berikut :
· Manik Tirtha, yaitu merupakan pelinggih yang terbuat dari bambu dan terdapat beberapa arca yang ditempatkan di bawah pohon beringin. Pelinggih ini merupakan tempat meletakkan sesajen pada saat piodalan dan hari–hari seperti purnama, tilem dan lain-lain.
· Beji, di tempat ini terdapat pancuran dan airnya ditampung seperti kolam yang berada di seb timur pohon beringin. Air pancuran di Beji ini diperguna-kan untuk kepentingan upacara, seperti melasti, ngingsah beras, nunas toya ning, dan lain-lain untuk masyarakat Blahbatuh dan sekitarnya.
· Bale Gong, adalah untuk melakukan kegiatan terutama bagi sekhe gong dalam kaitannya den upacara di Pura Bukit Darma.
· Bale Banjar, bale ini adalah tempat untuk melakukan aktifitas seperti pertemuan (sangkep) oleh Krama Banjar Kutri.
Di sebelah barat mandala jaba (halaman luar) terdapat jalan raya dari kota Gianyar ke Blahbatuh, dan di sebelah barat jalan raya ini terdapat perumahan penduduk dari utara (Semabaung) sampai Desa Burwan dan seterusnya. Di belakang rumah-rumah sebelah barat jalan raya ditemukan susunan batu kali mengarah utara–selatan, yang ke arah utara sampai di Pura Jeron Dewa sedangkan yang ke selatan sampai batas Banjar Kutri dengan Desa Buruan. Kemungkinan pada masa lalu jalan yang terbuat dari batu itu ada kaitanny dengan Pura Bukit Darma, selain itu terdapat juga sumber mata air yang dialirkan ke sebelah utara halaman luar (pohon beringin) dan ke Puri Blahbatuh dengan menggunakan pipa untuk kebutuhan air sehari-hari.
2. Mandala Jaba Tengah
Untuk mencapai mandala ini, dengan melewati candi bentar melalui beberapa anak tangga dan sampailah di mandala jaba tengah. Di mandala ini terdapat bale kulkul yang terletak di ujung utara tembok, dan setelah melewati candi bentar yang menghadap ke arah selatan terdapat Pura Puseh dan Pura Desa (Bale Agung) Di halaman pura ini terdapat pelinggih dan bangunan lainnya sebagai berikut :
1. Penetegan
2. Piyasan
3. Bale Agung
4. Taksu
5. Pelinggih Naga Basuki
6. Pengaruman
7. Gedong Sinapa
8. Gedong Gunung Lebah
9. Padmasana
10. Gedong Siwa
11. Pelinggih Gunung Agung
12. Pelinggih Arca
13. pelinggih Arca
14. Sedahan Ngerurah
15. Panggungan
16. Apit Lawang
17. Bale Gong
3. Mandala Jeroan
Sebelum masuk mandala Jeroan melalui jalan di depan candi bentar Pura Puseh dan Pura Desa (Bale Agung) ke arah timur memasuki Kori Agung dan dikanan kirinya terdapat Apit Lawang dengan beberapa anak tangga sampailah di mandala Jeroan. Mandala ini menurut informasi I Wayan Rupa juga disebut Limas Duwur yang terdiri atas beberapa halaman (teras) dengan pelinggih dan bangunan lainnya sebagaai berikut :
Halaman Pertama : di halaman ini terdapat beberapa pelinggih dan bangunan sebagai berikut.
1. Bale Pesanekan
2. Bale Penyucian
3. Bale Penetegan
4. Perantenan
Di halaman ini juga terdapat Pura Ulun Carik, untuk memasuki pura ini melewati candi bentar dan Apit Lawang. Di pura ini terdapat beberapa buah pelinggih dan bangunan lainnya sebagai berikut.
1. Pelinggih Jero Sedahan Tangkeb Langit
2. Pelinggih Bhatara Sri
3. Pelinggih Limas Catu
4. Pelinggih Gunung Lebah
5. Bale Pesanekan
6. Piyasan.
Halaman Kedua : untuk mencapai halaman ini melewati beberapa anak tangga tetapi tidak terdapat Kori Agung maupun candi bentar. Di halaman ini terdapat pelinggih dan bangunan sebagai berikut.
1. Piyasan
2. Gedong Sari
3. Gedong Sinapa
4. Gedong Gunung Lebah
5. Gedong Siwa
6. Panggung Dedari
7. Pesaren (Pelinggih Arca)
8. Gedong Doho
9. Bale Peselang
10. Bale Gong
11. Panggungan
Halaman Tiga : halaman ini terletak di atas bukit yang dibatasi dengan penyengker yang terbuat dari padas dengan candi bentar menghadap ke arah barat. Untuk mencapai halaman ini melalui anak tangga yang jumlahnya 102 buah dan cukup melelahkan. Di halaman ini terdapat sebuah pelinggih tempat penyimpan arca Durga Mahisasuramardini, dan pelinggih ini dipugar tahun1964 oleh Lembaga Peninggalan Purbakala Nasional (LPPN) di Bedulu, Blahbatuh Gianyar. Pelinggih tempat arca tersebut sekarang direnovasi dengan material batu hitam bantuan dari Gubernur Bali.
Di sebelah selatan bale gong, di halaman Jeroan terdapat wantilan, untuk ke tempat tersebut, yaitu melalui candi bentar ke arah selatan dari halaman jeroan atau dapat di capai melalui halaman tengah (Jaba Tengah). Wantilan ini dipergunakan untuk pementasan kesenian pada saat upacara piodalan di Pura Bukit Darma.
1.3 Riwayat Penelitian
Pura Bukit Darma, yang terletak di Banjar Kutri, Desa Buruan, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, menyimpan tinggalan arkeologis terutama arca-arca kuno, seperti arca Durga Mahisasuramardini, Amoghapasa, Ganesa, arca Bhatara, arca Buddha dan lain-lain. Karena banyaknya arca-arca yang tersimpan di pura itu, para ahli arkeologi maupun sejarah melakukan penelitian terhadap arca-arca itu. Penelitian terhadap Pura Bukit Darma Kutri sudah dilakukaan sebelum pecahnya Perang Dunia II. Hasil penelitian itu telah dimuat dalam Oudheidkundig Verslag, tahun 1927 halaman 147-148 dengan menyebut beberapa pura. Adapun pura-pura di kompleks Pura Bukit Darma Kutri, antara lain : Pura Ulun Carik (Inv. No. 111), Pura Puseh (Inv. No 112), Pura Bukit Darma (Inv. No. 113), Pura Kedarman (Inv. No. 114) dan Pura Dalem (Inv. No. 115). Berdasarkan hasil penelitian yang telah disebutkan dalam Oudheidkundig Verslag itu dapat dikatakan, bahwa penelitian tersebut menitik beratkan pada inventarisasi.
Setelah merintis penelitian di Pura Bukit Darma Kutri, seperti tersebut dalam Oudheikundig Verslag, selanjutnya menyusun buku Ouddheden Van Bali terbit 1929. Di dalam buku ini telah memuat analisis terhadap beberapa arca di Pura Bukit Darma Kutri. Arca-arca yang ditemukan di Pura Bukit Darma Kutri oleh Stutterheim di kelompokkan pada periode abad X –XIII Masehi (Periode Bali Kuno). Arca-arca kuno lainnya yang di kelompokkan dalam periode abad X –XIII Masehi, adalah kelompok Gunung Penulisan, Goa Gajah dan Gunung Kawi (Stutterheim, 1929 : 116 – 117). Analisis yang penting dilakukan oleh Stutterheim adalah membuat suatu kesimpulan, bahwa arca Durga Mahisasuramardini adalah arca perwujudan dari Mahendradatta Ibu Elangga. Sedangkan Amoghapasa masih diragukan identitasnya, apakah arca perwujudan Udayana atau penggantinya (Stutterheim, 1929).
Dalam laporan tahunan, Dinas Purbakala Indonesia tahun 1951-1952 disebutkan, tentang pekerjaan perbaikan arca Durga di Pura Kedarman dengan melakukan beberapa bagian yang dapat dipasang kembali dengan mempergunakan semen sebagai perekat. (Dinas Purbakala, 1958 : 8).
Bangunan yang tergolong kuno dikompleks Pura Bukit Darma tidak ada lagi berdiri, tetapi ada petunjuk bahwa di lokasi itu pernah berdiri bangunan (candi), dengan adanya temuan berupa batu ambang pintu suatu bangunan (candi) dan kompenen bangunan lainnya. Hal ini diperkuat lagi, dengan adanya keterangan dalam prasasti Peguyangan, yang menyebutkan Sanghyang candi I burwan (Calleenfels, 1926 : 19).
Selanjutnya pada tahun 1982, penelitian dilakukan terhadap arca-arca kuno dan tinggalan lainnya di Pura Bukit Darma oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Jakarta bekerjasama dengan Balai Arkeologi Denpasar. Penelitian yang dilakukan, terfokus pada inventarisasi terhadap arca-arca kuno yang tersimpan di pura-pura Desa Burwan dan sekitarnya. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat diperkira-kan, bahwa arca-arca yang tersimpan di Pura Bukit Darma Kutri berasal dari abad X- XIII Masehi.
Pada tahun1986, Balai Arkeologi Denpasar melakukan ekskavasi terhadap situs Pura Bukit Darma Kutri dengan tujuan, untuk mengumpulkan data tentang arsitektur, karena banyak di sekitar pura itu ditemukan komponen bangunan. Berdasarkan temuan itu, dilakukan beberapa tahap ekskavasi secara farsial di sekitar kompleks pura tersebut. Dengan adanya struktur bangunan yang ditemukan seperti tersebut di atas, maka untuk sementara dapat perkirakan bahwa di kompleks Pura Bukit Darma Kutri pernah berdiri bangunan (kompleks percandian) dengan batas-batas, yaitu di sebelah selatan di belakang rumah penduduk, dan batas utara sampai pada kali yang mengalir di sebelah utara rumah penduduk.
1.4 Asal Usul Nama
Mengenai nama Pura Bukit Darma Kutri pada kesempatan ini perlu dikaji, apakah nama itu muncul sejak berdirinya atau pada masa belakangan, karena pemberian nama pada suatu tempat menurut tradisi masyarakat, biasanya dihubungkan dengan suatu peristiwa tertentu atau hal lain yang terkait dengan tempat itu. Untuk mencari asal usul nama ini, kiranya sangat sulit karena terbatasnya data, dan pada kesempatan ini akan dicoba mengkaji berdasarkan data prasasti yang kemungkinan ada kaitannya dengan nama pura tersebut.
Sebelum membicarakan asal usul nama Pura Bukit Darma Kutri, ada baiknya terlebih dahulu membahas data yang telah diuraikan di depan. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui, bahwa ayah – bunda raja Anak Wungsu masing-masing lumah (dicandikan) di Burwan, dan lumah di Banu Wka. Kata bhatari dalam prasasti tidak lain, adalah Gunaprya Dharmapatni (sang ratu luhur), dan bhatara, adalah Dharmodayana Waradewa (sang ratu maruhani) (Goris, 1954 : 301). Menurut Goris, letak candi dan arca Gunaprya Dharmapatni adalah di Kutri (Burwan) dan arcanya berwujud Durga Mahisasuramardini yang tersimpan di Pura Kedarman (Goris, 1957 : 20). Selain arca di sekitar Pura Kedarman ditemukan batu-batu candi dan ada di antaranya berbentuk batu ambang pintu. Di Pura Kedarman yang terletak di puncak bukit itu, mungkin pada masa lalu pernah berdiri sebuah candi yang disebutkan dalam prasasti Peguyangan, yaitu sang hyang candi i burwan (Soekmono, 1974 : 225)
Berdasarkan keterangan di atas, dapat diperkirakan bahwa sang hyang candi i burwan, adalah bangunan candi untuk memuliakan arwah (roh) Gunaprya Dharmapatni yang dalam wujud pisik diwujudkan sebagai Durga Mahisasura-mardini. Pura Kedarman sebagai identifikasi dari sang hyang candi i burwan mempunyai bukti-bukti, seperti arca Durga Mahisasuramardini, batu ambang pintu, batu-batu candi, serta letaknya di atas bukit yang dianggap sebagai alam arwah atau dewa. Arca Durga Mahisasuramardini di Pura Kedarman berukuran besar (237 cm) dan dapat dikatakan insitu dan dapat dipakai untuk mengidentifikasi bhatari lumah i burwan (sang ratu luhur = Gunaprya Dharmapatni) sebagai seorang raja putri keturunan Jawa pada masa itu. Data lain yang dapat dipergunakan untuk menguatkan, bahwa Pura Kedarman sebagai sang hyang candi i burwan adalah unsur kata darma pada kata Kedarman. Kata darma (dharma bahasa Sansekerta) di samping mempunyai arti yang lain, dapat juga berarti “candi pemujaan, pemakaman” (Mardiwarsito, 1981 : 171). Dugaan ini diperkuat oleh data prasasti yang menyebutkan bahwa raja Jayapangus dicandikan di Dharmahanar (Pura Pengukur-ukuran) kemudian disebut bhatara ring dharmahanar (Callenfels, 1926 : 47). Kata darma (dharma) sampai sekarang masih dipakai untuk mengidentifikasi bangunan pemujaan untuk arwah nenek moyang (kawitan). Bangunan itu disebut pedarman yang banyak ditemukan di kompleks Pura Besakih.
Seperti telah disebutkan di atas, bahwa bagian prasasti yang menyebutkan thani karaman i burwan. Menurut Goris bahwa di sekitar sang hyang candi i burwan terdapat pemukiman penduduk yang bernama karaman (desa) burwan. Kemungkinan kata thani di depan kata karaman i burwan itu dapat ditafsirkan untuk menunjukkan wilayah burwan pada masa lalu, mengingat kata thani berarti “wilayah desa” (Goris, 1954b : 319). Selain itu, perlu diketahui tentang mpungkwing kutrihanar (kutrihanar) dan mpungwing burwan karena kedua nama tempat itu sebagai tempat kediaman pendeta Buddha. Perkataan kutrihanar terdiri atas kuti dan hanar ; kuti (kuti bahasa Sansekerta) berarti ”biara, asrama, pertapaan”. Sedangkan kata hanar berarti “baru”, kutihanar, berarti “asrama baru”. Kutihanar, adalah nama tempat kebudaan di Bali (Mardiwarsito, 1981 : 301). Kata kutihanar selain tersebut dalam prasasti Tengkulak A., juga disebutkan dalam prasasti Buwahan E, dan Campaga C (Callenfels, 1926 : 45). Dalam prasasti Sukawana D, dan Pengotan E terbaca kurtihanar dan juga menyebutkan mpungkwing burwan. Kata kutihanar yang tersebut dalam prasasti Tengkulak A sama dalam prasasti Buwahan E, dan Campaga C, kemudian mengalami korespondesi bunyi pada prasasti Sukawana D, dan Pengotan E, lalu menjadi kutrihanar. Lambat laun terjadi pemotongan kata sehingga kata kutrihanar hanya diucapkan kutri saja, dan menjadi nama Banjar Kutri tempat kompleks Pura Bukit Darma sekarang.
Berdasarkan uraian di atas menurut perkiraan bahwa nama Pura Bukit Darma Kutri muncul sejak pura itu dibangun atau di dirikan, kemungkinan nama itu diambil dari keberadaan (tempat di atas bukit) di mana pura itu berada, kemudian dikaitkan dengan fungsi (sebagai pedarman). Kemudian suatu bangunan suci sebagai tempat pemujaan sudah tentu ada masyarakat (wilayah desa) yang bertanggung jawab atas kelangsungan bengunan suci tersebut. Dengan demikian nama Pura Bukit Darma Kutri sudah muncul sejak pura itu dibangun.
1.5 Tinggalan Arkeologi
Di situs Pura Bukit Dharma terdapat empat buah pura, yaitu Pura Puséh, Pura Bukit Dharma, Pura Ulun Carik, dan Pura Kédarman. Masing-masing pura itu berada pada teras dari sebuah bukit, yakni Pura Puséh terletak pada teras pertama, pura Ulun Carik terletak pada teras kedua, pura Bukit Dharma terletak pada teras ketiga, dan Pura Kédarman terletak di teras keempat atau di puncak bukit karang. Untuk mencapai Pura Kédarman yang terletak di atas bukit itu melalui anak tangga (undak-undak) yang ada pada masing-masing teras yang paling banyak jumlah anak tangga nya, yaitu sebanyak 102 buah.
Dari pelinggih-pelinggih yang ada di pura tersebut tidak semuanya merupakan tempat penyimanan arca, misalnya :
- Pura Puséh, pelinggih yang menjadi tempat penyimpanan arca, adalah satu buah pelinggih, oleh masyarakat disebut Gedong, Tungkup.
- Pura Bukit Dharma, pelinggih yang menjadi tempat penyimpanan arca adalah dua buah, yaitu pelinggih Pesaren dan pelinggih Doko.
- Pura Kedarman, yang letaknya di atas bukit karang dengan luas 13 x 10,24 meter terdapat sebuah pelinggih berukuran 5 x 5 meter. Pelinggih ini merupakan tempat penyimpanan arca Durga Mahisasuramardhini dan beberapa arca lainnya. Pelinggih ini selesai dipugar oleh Dinas Purbakala Bali tanggal 28 Maret 1962.
- Penelitian terhadap situs Kutri (Pura Buklit Dharma) sudah dilakukan sebelum pecahnya perang Dunia II. Hasil penelitian itu sudah dimuat dalam buku Oudheidkundig verslag dan menyebutkan beberapa pura yang ada di Kutri, antara lain Pura Ulun Carik, Pura Puséh, Pura Bukit Dharma, Pura Kédarman. Penelitian yang dilakukan itu bertitik beratkan pada inventarisasi (Stutterheim, 1927 : 147-148). Tetapi meskipun belum mengarah/mengacu kepada analisis, hal itu merupakan perintis jalan terhadap penelitian arkeologi di masa mendatang.
Di dalam buku Oudheiden van Bali telah dimuat analisis terhadap beberapa arca yang terdapat di pura itu. Arca-arca yang terdapat di kompleks Pura Bukit Dharma Kutri dikelompokkan pada periode Bali Kuno (abad X-XIII M), adalah kelompok Gunung Penulisan, Goa Gajah, Gunung Kawi (Stutterheim, 1929 : 116-117).
Dalam laporan tahunan Dinas Purbakala Indonesia tahun 1951 – 1952 disebutkan tentang perbaikan arca Durga di Pura Kédarman dengan pemasangan bagian yang dapat ditemukan kembali dengan mempergunakan semen sebagai perekat (Dinas Purbakala 1958 : 8).
Kemudian pada tahun 1957 terlihat kembali sebuah artikel yang berjudul ”Dinasti Warmadewa di Pulau Bali” dalam Bahasa dan Budaya yang juga menguaraikan tentang arca Durga di Pura Kédarman dan Pura Puséh (Goris, 1957 : 20).
A.J. Bernet Kempers dalam bukunya Bali Purbakala dan Monumental Bali juga menguraikan secara singkat arca Amoghapasa di Pura Puséh dan arca Mahisasuramardhini, gamparan (bakyak) dan arca Ganesa (Bernet Kempers, 1960 : 49 dan 1977 : 166-168).
Adapun arca-arca yang terdapat di pura itu adalah sebagai berikut :
1. Pura Puséh,
Di pura ini tersimpan 2 (dua) buah arca yaitu :
1. Arca Durga Mahisasuramrdhini , dan
2. Arca Amoghapasa.
2. Pura Bukit Dharma
Di pura ini tersimpan 6 (enam) buah arca yang terdiri dari 5 buah arca perwujudan Bhatara dan 1 (satu) buah arca Buddha
3. Pura Kédarman
Di pura ini terdapat 9 (sembilan) buah arca dan benda kuno lainnya, terdiri 5 buah arca perwujudan Bhatara/Bhatari, 1 buah lingga ganda, 1 buah gamparan, 1 buah arca ganesa, dan 1 buah arca Durga Mahisasuramardhini.
Di pura tersebut disimpan arca dewa dan perwujudan, dan konsepsi dasar pemujaan arca perwujudan adalah kepercayaan terhadap roh leluhur. Untuk itu terlebih dahulu harus berpijak pada zaman prasejarah. Karena pada zaman itu terdapat kepercayaan, bahwa puncak gunung atau pegunungan adalah sebagai alamnya arwah (Linus, 1983 : 6). Untuk itu, pemujaan terhadap roh leluhur mereka mendirikan menhir, tahta batu, punden berundak (Darmosoetopo, 1984 : 117).
Pemujaan terhadap nenek moyang berlatar belakang dari adanya penghormatan terhadap jasanya yang melindungi keturunannya. Dan untuk menunjukkan letak tinggi (gunung atau bukit) itu, maka tidak jarang sebuah menhir di dirikan di atas sebuah bangunan berundak-undak.
Setelah bangunan berbentuk menhir tidak dibuat lagi, sering terjadi tempat pemujaan roh nenek moyang diwujudkan dalam bentuk arca-arca (Soekmono, 1973 : 77). Temuan arca-arca dari zaman prasejarah di antaranya nenek moyang terdapat di Pasemah. Untuk daerah Bali, arca-arca dari zaman prasejarah ditemukan di Depaa Kabupaten Buleleng, pura Besakih Desa Keramas (Blahbatuh, Gianyar), dan lain-lainnya. Arca-arca di pura Besakih Keramas memeperlihatkan sikap menyembah sebagai salah satu unsur sikap arca perwujudan leluhur (Mahaviranata, 1980 : 119).
Sekitar abad ke-5 pengaruh Hindu masuk di Indonesia, dengan penemuan prasasti Tugu. Dalam prasasti tersebut terdapat kalimat yang menyebutkan, bahwa raja Purnawarman mengatakan dirinya titisan dewa Wisnu dengan gambar telapak kaki dewa Wisnu (Poerbatjaraka, 1951 : 13). Selain ditemukan arca Wisnu di Cibuaya yang diperkirakan berasal dari abad ke-6 dan ke-7 Masehi (Tim Penulisan Naskah Pengembangan Media Kebudayaan Jawa Barat,1977 : 42).
Pengaruh Hindu itu bukan saja berkembang di Jawa Barat, tetapi juga berkembang di Jawa Tengah dengan hasil seni klasiknya yang menampakkan kelemah-lembutan dengan konsepsi kedewataan India (Suparto, 1956 : 58). Hal ini dapat dibuktikan pada arca Wisnu di Candi Banon, arca Buddha di Candi Borobudur, arca Siwa di Candi Prambanan (Soekmono, 1973 : 94-97).
Pada masa Jawa Timur, di Bali nampak terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap ketentuan ikonografi India yang dapat diketahui dari langgam arca yang mulai menampakkan sikap kaku (seperti mayit), dan pemberian atribut. Penyimpangan itu terjadi karena konsep dasar pengarcaan di Indonesia berbeda dengan konsep ikonografi India, sehingga arca dewa dengan atribut yang menyimpang menggambarkan arca perwujudan tokoh (Geria, 1986 : 41).
Dalam Kamus Arkeologi I, arca perwujudan merupakan perwujudan dewa yang disembah oleh penganutnya untuk tujuan pemujaan. Di Indonesia seorang raja telah wafat diarcakan sesuai dengan agama yang dianutnya. Di samping tanda-tanda kedewataan yang dibawanya, arca perwujudan ini bertangan dua yang ditekuk sejajar perut dengan telapak tangan menghadap ke atas, memegang kuncup bunga teratai (Ayatrohaedi, 1981 : 18).
Kemudian Ir. J.L. Moens mengupas mengenai benda bulatan yang dibawa oleh arca-arca itu dalam hubungannya dengan pembebasan jiwa. Bulatan (bunga teratai) itu erat hubungannya dengan roh seorang dalam usahanya mencapai kebahagiaan rohani. Sebab, apabila seorang masih hidup, rohaninya masih diselimuti oleh karma (perbuatan) dan badan kasar. Tapi lama kelamaan, jiwa halus itu akan bebas juga. Dengan demikian, tiap arca yang membawa bulatan dalam arti atribut yang menyimpang dari biasanya, dapat disebut arca perwujudan atau patung potret (Mantra 1960 : 6).
Di Bali banyak ditemukan arca yang tergolong perwujudan, tetapi tidak jelas tokoh yang diarcakan. Dalam perkembangan arca perwujudan di Bali sekitar abad 10-13 Masehi, lebih cendrung mengarah kepada perwujudan raja-raja.
Dari data prasasti Bali dapat diketahui, bahwa raja itu adalah titisan dewa. Hal ini dapat dibuktikan dari prasasti atas nama raja Jaya Sakti (1133-1150 Masehi), menyebutkan raja sebagai perwujudan dewa Wisnu (Astra 1982 : 6).
Oleh sebab itu, terjadilah penyatuan pandangan terhadap roh leluhur dengan dewa. Apabila raja meninggal akan kembali kepada dewa penitisannya. Kemudian, bila seorang mengadakan upacara/pemujaan terhadap roh leluhur sekaligus memuja dewa.
Di Bali, pembuatan arca perwujudan tidak berkelanjutan lagi sejak masa pemerintahan Dalem Watu Renggong (abad 15-16 Masehi). Ketika Dang Hyang Nirarta menjadi Porohito di Bali, tradisi pembuatan arca perwujudan itu tidak dilakukan lagi, dan Atmapratistha tidaklagi dibuat dalam bentuk arca, melainkan dengan menggunakan Daksina Pelinggih yang sifatnya sementara (Geria 1986 : 44).
No comments:
Post a Comment