Friday, October 19, 2012

Pura Dharma Kutri


.1 Letak dan Lingkungan

Tukad Pakerisan dan Tukad Petanu adalah dua buah sungai yang mengalir di sebelah timur dan barat Desa Buruan, yang sejak dahulukala mendapatkan sumber air yang tidak ada hentinya dari kaki pegunungan Kintamani. Kedua sungai ini menjadi terkenal di kalangan para ahli arkeologi dan sejarah Bali Kuno, bahkan juga kalangan para ahli kebudayaan Bali, karena kawasan di antara kedua sungai ini yang
membentang dari utara desa Tampaksiring hinga ke pantai selatan Gianyar, terbukti memiliki kandungan bukti-bukti kelahiran awal peradaban Bali yang sangat signifikan. Kawasan ini dapat juga disebut sebagai kawasan budaya, terutama kerena mempunyai populasi peninggalan arkeologi yang amat padat dan beragam, baik secara kunatitatif maupun kualitatif, antara lain tersebar di desa-desa Panempahan, Manukaya (Tampaksiring). Pejeng, Bedulu dan Kutri (Buruan), hingga desa-desa pesisir pantai selatan, seperti desa Lebih, Keramas, Saba, dan Tewel. Oleh karena itu, kedua sungai tersebut di atas seringkali disejajarkan dengan sungai Gangga dan Jamuna di India, karena terbukti merupakan pusat kebudayaan India kuno.


Pada umumnya hampir semua peninggalan arkelogi yang terdapat di kawasan tersebut di atas sampai sekarang masih berfungsi sakral (living sacred monuments) bagi masyarakat setempat. Sebagai contoh disebutkan, ialah Pura Pegulingan, Pura Tirtha Empul, Prasada Mangening, Candi Tebing Gunung Kawi (Tampaksiring), Pura Goa Gajah, Pura Penataran Sasih, Pura Pusering Jagat, Pura Kebo Edan (Pejeng), Pura Samuan Tiga (Bedulu), Pura Bukit Dharma Kutri dan lain-lainnya. Oleh karena itu, kawasan di antara Tukad Pakerisan dan Petanu seringkali disebut juga sebagai kawasan suci atau kawasan sakral (sacred topography) yang penting dalam kehidupan beragama masyarakat Bali sejak dahulukala hingga sekarang. Kenyataan semacam ini, telah ditunjukkan oleh para ahli arkeologi yang melakukan penelitian sejak permulaan abad 20 yang lalu. Berbagai ragam peninggalan arkeologi yang dapat disaksikan dewasa ini, adalah warisan budaya yang merupakan saksi sejarah masa lalu yang sebenarnya dapat menjadi penutur perkembangan dinamika dan kreativitas budaya nenek moyang yang berlangsung secara bertahap terutama seni kerajinan, seperti seni pahat dan lain-lainnya.

Pura Bukit Dharma terletak di Banjar (Dusun) Kutri, Desa Buruan, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Giahyar, Propinsi Bali. Atau situs ini terletak di antara koordinat 80 30’ Bujur Timur dan 80 30’-80 40’ Lintang Selatan dengan ketinggian 193 meter dari permukaan air laut. Banjar Kutri adalah salah satu banjar yang terletak di ujung utara  desa Buruan. Sebenarna situs Pura Bukit Dharma Kutri terdiri atas empat buah pura, yaitu Pura Puséh, Pura Ulun Carik, Pura Bukit Dharma, dan Pura Kédarman. Pura Puseh  Desa terletak pada halaman ke dua (jabe tengah), Pura Ulun Carik dan Pura Bukit Dharma pelatarannya lebih tinggi dari Pura Ulun Carik dan Pura Kedarman terletak pada pelataran yang paling tinggi, karena terletak di atas bukit. Pura Kédarman dapat dicapai setelah melalui anak tangga sebanyak 102 buah dan tanjakannya cukup tajam. Pura Kedarman terletak pada ketinggian 193 mater di atas permukaan laut.

Komplek Pura Bukit Dharma mudah dicapai karena terletak di pinggir jalan raya Gianyar Denpasar atau 4 kilometer di sebelah barat Kota Gianyar dan 24 kilometer dari Denpasar. Di depan pura terpancang sebuah papan nama yang berbunyi Kahyangan Jagat ”Pura Durga Kutri”. Sebenarnya yang dimaksud dengan nama itu adalah untuk menunjukkan kompleks Pura Bukit Dharma Kutri. Hal itu dapat dimaklumi karena pada salah satu pura itu (Pura Kédarman) menyimpan sebuah arca Durga Mahisasuramardhini.

Bukit tempat didirikan komplek Pura Bukit Dharma ditumbuhi beberapa jenis pohon kayu berdaun rimbun seperti pohon beringin, kepih, dan lain-lainnya, sehingga bukit itu terhindari dari erosi.

Kompleks Pura Bukit Dharma menyimpan peninggalan arca-arca antara lain Durga Mahisasuramardini, Amoghapasa, Ganesa, arca Bhatara, dan arca Buddha. Menurut Stutterheim arca-arca yang tersimpan di kompleks  Pura Bukit Dharma dimasukkan dalam arca-arca kelompok Kutri yang diperkirakan berasal dari abad X-XIII M. (Stutterheim, 1929 : 116-117). Bangunan yang tergolong kuna di komplek Pura Bukit Dharma tidak ada lagi berdiri karena bangunan yang ada sekarang semuanya tergolong baru. Tetapi terdapat petunjuk rupa-rupanya pada jaman yang lampau di tempat itu pernah berdiri bangunan candi, karena dalam Prasasti Peguyangan terdapat keterangan yang menyebutkan sanghyang candi i burwan (Callenfels, 1926 : 19).

Selain prasasti Peguyangan masih terdapat prasasti lainnya untuk mengungkap situs Kutri (Buruan), yaitu prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Anak Wngsu yang memerintah di Bali tahun Saka 971-999, prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Jayapangus yang pernah memerintah di Bali tahun Saka 1099-1103 dan prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Patih kbo Parud yang pernah memerintah di Bali tahun Saka 1218-1222 (Goris, 1948 : 9-14).

Prasasti lain yang ada hubungannya dengan raja suami istri Gunapriya Dharmapatni dan Udayana (ayah-bunda Marakata dan Anak Wungsu), yaitu Prasasti Tengkulak A. Prasasti itu menyebutkan pada mulanya raja suami istri dicandikan bersama-sama di Banu Wka (Ginarsa 1961 : 3-17).

Prasasti dapat memberikan data kesejarahan dan mengidentifikasikan seni arca. Demikianlah halnya dengan ungkapan bhatari lumah i burwan dipergunakan untuk mengidentifikasikan arca Durga Mahisasuramardhini yang di simpan di Pura Bukit Dharma. Dari prasasti dapat pula diketahui bahwa di Pura Bukit Dharma Kutri (Burwan) pernah sebagai tempat kediaman pendeta agama Buddha.

Kata Darma (dharma bahasa Sansekerta) yang terkandung pada nama Pura (Bukit Darma dan Kédarman) memberikan petunjuk, bahwa Pura Bukit Dharma sebagai tempat pemujaan arwah (roh) seorang tokoh penting pada jamannya. Selain arca itu di sekitar Pura Kédarman ditemukan batu-batu candi yang salah satu di antaranya berbentuk ambang pintu. Di Pura Kédarman yang terletak di puncak bukit itu mungkin dahulu didirikan sebuah candi yang dalam prasasti Peguyangan disebut sanghyang candi i burwan (Soekmono,  1974 : 225; Callenfels, 1926 : 19).



1.2 Struktur Pura

Pura adalah sebuah tempat suci, sehingga bentuk dan strukturnya  didasarkan atas konsep filosofis sebagai landasannya. Pada intinya, landasan filosofisnya berdasarkan kosmologis Hindu yang memandang, bahwa dunia ini terdiri atas susunan yang    berlapis-lapis  disebut  loka dan tala,  sebagai replika dari makro-kosmos  atau dunia. Pura  di bagi menjadi beberapa halaman (mandala)  sebagai simbol loka dan tal. Seperti pura dengan dua halaman  (mandala), yaitu jaroan (hulu),  dan jaba  (hilir) sebagai simbol dari  alam atas  (swah), dan alam bawah (bhur).  Pura dengan tiga halaman  (mandala) adalah simbol   tri loka, yaitu bhur loka, bwah loka  dan swah loka. Di samping itu, halaman  (mandala) dilengkapi dengan bangunan, pelinggih, bangunan pelengkap, dan bangunan penunjang. Pemisahan  masing-masing halaman  (mandala) ditandai dengan tembok  penyengker, candi bentar,  dan kori agung sebagai penghubungnya.

Demikian halnya dengan Pura Bukit Darma, tidak secara tegas menunjukkan konsep tri loka, tetapi merupakan kompleks pura dengan halaman-halaman  (mandala) sebagai berikut.

1.  Mandala Jaba

Mandala ini adalah sisi terluar, dan  di mandala  terdapat  beberapa pelinggih dan bangunan pelengkap sebagai berikut  :

·         Manik Tirtha,  yaitu merupakan pelinggih yang terbuat dari bambu dan terdapat beberapa  arca  yang ditempatkan di bawah pohon beringin. Pelinggih ini  merupakan tempat meletakkan sesajen pada saat  piodalan  dan hari–hari seperti purnama, tilem dan lain-lain.

·       Beji, di tempat ini terdapat pancuran dan airnya ditampung seperti kolam yang berada di seb timur pohon beringin. Air pancuran di Beji ini  diperguna-kan untuk kepentingan upacara, seperti melasti, ngingsah beras, nunas toya ning, dan lain-lain  untuk masyarakat Blahbatuh dan sekitarnya.

·       Bale Gong, adalah untuk melakukan kegiatan terutama bagi sekhe gong dalam kaitannya den upacara di Pura Bukit Darma.

·      Bale Banjar, bale ini adalah tempat  untuk melakukan aktifitas seperti pertemuan (sangkep)  oleh  Krama Banjar Kutri.

Di sebelah barat mandala jaba  (halaman luar) terdapat jalan raya dari kota Gianyar ke  Blahbatuh, dan di  sebelah barat jalan raya  ini  terdapat perumahan penduduk dari utara  (Semabaung)  sampai Desa Burwan dan seterusnya. Di belakang rumah-rumah  sebelah barat jalan raya ditemukan  susunan batu kali mengarah utara–selatan, yang ke arah utara sampai di Pura Jeron Dewa sedangkan yang ke selatan sampai batas Banjar Kutri dengan Desa Buruan.  Kemungkinan pada  masa lalu jalan yang terbuat dari batu itu ada kaitanny dengan Pura Bukit Darma, selain  itu  terdapat  juga sumber mata air yang dialirkan  ke  sebelah utara  halaman luar  (pohon beringin)  dan ke Puri Blahbatuh  dengan menggunakan pipa  untuk  kebutuhan  air sehari-hari.

2.  Mandala  Jaba Tengah

            Untuk mencapai mandala  ini, dengan melewati candi bentar melalui beberapa anak tangga dan sampailah di mandala jaba tengah. Di  mandala ini  terdapat bale kulkul  yang terletak di ujung utara  tembok, dan setelah melewati candi bentar  yang menghadap ke arah selatan  terdapat Pura Puseh dan Pura  Desa (Bale Agung) Di halaman pura ini  terdapat pelinggih dan bangunan lainnya sebagai berikut :

1.      Penetegan

2.      Piyasan

3.      Bale Agung

4.      Taksu

5.      Pelinggih Naga Basuki

6.      Pengaruman

7.      Gedong Sinapa

8.      Gedong Gunung Lebah

9.      Padmasana

10.  Gedong Siwa

11.  Pelinggih Gunung Agung

12.  Pelinggih Arca

13.  pelinggih Arca

14.  Sedahan Ngerurah

15.  Panggungan

16.  Apit  Lawang

17.  Bale Gong

3.  Mandala Jeroan

            Sebelum masuk mandala Jeroan melalui jalan di depan candi bentar Pura Puseh dan Pura Desa (Bale Agung) ke arah timur memasuki  Kori Agung  dan dikanan  kirinya terdapat Apit Lawang dengan beberapa anak tangga  sampailah di mandala Jeroan. Mandala ini menurut informasi I Wayan Rupa  juga disebut  Limas Duwur yang terdiri atas beberapa  halaman (teras)  dengan pelinggih dan bangunan lainnya sebagaai berikut :

Halaman  Pertama : di halaman ini terdapat  beberapa pelinggih dan bangunan sebagai berikut.

1.      Bale Pesanekan

2.      Bale Penyucian

3.      Bale Penetegan

4.      Perantenan

Di halaman ini juga terdapat  Pura Ulun Carik, untuk memasuki pura ini melewati candi bentar  dan  Apit Lawang. Di pura ini terdapat  beberapa buah pelinggih dan bangunan lainnya sebagai berikut.

1.      Pelinggih Jero Sedahan Tangkeb Langit

2.      Pelinggih Bhatara Sri

3.      Pelinggih Limas Catu

4.      Pelinggih Gunung Lebah

5.      Bale Pesanekan

6.      Piyasan.

Halaman Kedua : untuk mencapai halaman ini melewati  beberapa anak tangga tetapi tidak terdapat Kori Agung maupun candi bentar. Di halaman ini terdapat pelinggih dan bangunan sebagai berikut.

1. Piyasan

2. Gedong Sari

3. Gedong Sinapa

4. Gedong Gunung Lebah

5. Gedong Siwa

6. Panggung Dedari

7. Pesaren (Pelinggih Arca)

8. Gedong Doho

9. Bale Peselang

10. Bale Gong

11. Panggungan

Halaman Tiga : halaman ini terletak di atas bukit  yang dibatasi dengan  penyengker yang terbuat dari padas  dengan candi bentar menghadap ke arah barat. Untuk mencapai halaman ini melalui anak tangga  yang jumlahnya          102 buah dan cukup melelahkan. Di halaman ini terdapat sebuah pelinggih  tempat  penyimpan  arca Durga Mahisasuramardini, dan pelinggih ini dipugar tahun1964 oleh Lembaga Peninggalan Purbakala Nasional (LPPN) di  Bedulu, Blahbatuh Gianyar. Pelinggih tempat arca tersebut sekarang direnovasi dengan material batu hitam  bantuan dari Gubernur Bali.

            Di sebelah selatan  bale gong,  di halaman  Jeroan  terdapat  wantilan,  untuk  ke tempat tersebut, yaitu melalui candi bentar  ke arah selatan dari halaman jeroan  atau dapat di capai melalui halaman tengah (Jaba Tengah). Wantilan ini dipergunakan untuk pementasan kesenian pada saat upacara piodalan  di Pura Bukit Darma.



1.3 Riwayat Penelitian

Pura Bukit Darma, yang terletak di  Banjar Kutri, Desa Buruan, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar,  menyimpan tinggalan arkeologis terutama arca-arca kuno, seperti arca Durga Mahisasuramardini, Amoghapasa, Ganesa, arca Bhatara, arca Buddha dan lain-lain. Karena banyaknya arca-arca yang tersimpan di pura itu, para ahli arkeologi maupun sejarah melakukan penelitian terhadap arca-arca itu. Penelitian terhadap Pura Bukit Darma Kutri sudah dilakukaan sebelum pecahnya Perang Dunia II. Hasil penelitian itu telah dimuat dalam Oudheidkundig Verslag, tahun 1927  halaman 147-148 dengan menyebut beberapa pura. Adapun pura-pura   di kompleks Pura Bukit Darma  Kutri, antara lain : Pura Ulun Carik (Inv. No. 111), Pura Puseh (Inv. No 112), Pura Bukit Darma (Inv. No. 113), Pura Kedarman (Inv. No. 114) dan Pura Dalem (Inv. No. 115). Berdasarkan  hasil penelitian yang telah disebutkan dalam Oudheidkundig Verslag itu dapat dikatakan, bahwa penelitian tersebut menitik beratkan pada inventarisasi.

Setelah merintis penelitian di Pura Bukit  Darma Kutri, seperti  tersebut dalam Oudheikundig Verslag,  selanjutnya  menyusun buku Ouddheden Van Bali terbit 1929.  Di dalam buku ini telah memuat analisis terhadap beberapa arca  di Pura Bukit Darma Kutri. Arca-arca yang ditemukan  di Pura Bukit  Darma Kutri  oleh Stutterheim di kelompokkan pada periode abad X –XIII Masehi  (Periode Bali Kuno). Arca-arca kuno lainnya yang di kelompokkan  dalam periode abad X –XIII Masehi, adalah kelompok Gunung Penulisan, Goa Gajah dan Gunung Kawi (Stutterheim, 1929 : 116 – 117). Analisis yang penting dilakukan oleh Stutterheim adalah membuat suatu kesimpulan, bahwa arca Durga Mahisasuramardini  adalah arca perwujudan dari  Mahendradatta Ibu Elangga. Sedangkan Amoghapasa masih diragukan identitasnya, apakah arca perwujudan Udayana atau penggantinya (Stutterheim, 1929).

Dalam laporan tahunan, Dinas Purbakala Indonesia tahun 1951-1952 disebutkan, tentang pekerjaan perbaikan arca Durga di Pura Kedarman dengan melakukan beberapa bagian yang dapat dipasang  kembali dengan mempergunakan semen sebagai perekat. (Dinas Purbakala, 1958 : 8). 

     Bangunan yang tergolong kuno dikompleks Pura Bukit Darma tidak ada lagi berdiri, tetapi  ada petunjuk bahwa di lokasi itu pernah berdiri  bangunan (candi),  dengan adanya temuan berupa  batu ambang pintu suatu bangunan (candi) dan kompenen bangunan lainnya.  Hal ini diperkuat lagi, dengan adanya  keterangan dalam prasasti Peguyangan, yang menyebutkan Sanghyang candi  I burwan  (Calleenfels, 1926 : 19).

Selanjutnya pada tahun 1982, penelitian  dilakukan terhadap arca-arca kuno dan tinggalan lainnya di Pura Bukit Darma oleh Pusat Penelitian Arkeologi  Nasional Jakarta bekerjasama dengan Balai  Arkeologi Denpasar.   Penelitian  yang dilakukan, terfokus pada inventarisasi terhadap  arca-arca kuno yang tersimpan di pura-pura      Desa Burwan dan  sekitarnya. Berdasarkan hasil penelitian  tersebut  dapat  diperkira-kan,  bahwa arca-arca  yang tersimpan di Pura Bukit Darma Kutri berasal dari abad X- XIII  Masehi.

Pada tahun1986,  Balai Arkeologi Denpasar melakukan ekskavasi terhadap situs  Pura Bukit Darma Kutri dengan tujuan,  untuk mengumpulkan data tentang arsitektur, karena  banyak di sekitar  pura itu  ditemukan  komponen bangunan.   Berdasarkan temuan  itu, dilakukan  beberapa tahap ekskavasi secara farsial  di sekitar kompleks  pura tersebut.  Dengan adanya struktur bangunan  yang ditemukan seperti tersebut di atas, maka untuk sementara   dapat  perkirakan bahwa  di kompleks Pura Bukit Darma Kutri  pernah berdiri  bangunan (kompleks percandian) dengan  batas-batas, yaitu di  sebelah selatan  di belakang rumah penduduk,  dan batas utara  sampai  pada kali yang mengalir di sebelah utara rumah penduduk.



1.4 Asal  Usul Nama

Mengenai nama Pura Bukit Darma Kutri  pada kesempatan ini perlu dikaji, apakah  nama itu muncul sejak berdirinya atau pada masa belakangan, karena pemberian  nama  pada suatu  tempat menurut tradisi masyarakat, biasanya dihubungkan dengan suatu peristiwa tertentu  atau  hal lain yang terkait dengan tempat itu. Untuk mencari asal usul nama ini,  kiranya sangat  sulit  karena terbatasnya data,  dan  pada  kesempatan ini akan dicoba  mengkaji  berdasarkan data prasasti yang kemungkinan ada  kaitannya dengan  nama  pura tersebut.

  Sebelum  membicarakan asal usul  nama  Pura Bukit Darma Kutri, ada baiknya terlebih  dahulu  membahas  data yang telah diuraikan  di depan.  Berdasarkan  data tersebut  dapat diketahui, bahwa  ayah – bunda raja  Anak Wungsu  masing-masing  lumah  (dicandikan) di Burwan,  dan lumah di Banu Wka. Kata bhatari  dalam prasasti   tidak lain, adalah Gunaprya Dharmapatni (sang ratu luhur),  dan bhatara,  adalah  Dharmodayana Waradewa (sang ratu maruhani) (Goris, 1954 : 301). Menurut Goris, letak candi dan arca  Gunaprya Dharmapatni  adalah di Kutri  (Burwan) dan arcanya berwujud Durga  Mahisasuramardini  yang tersimpan di Pura  Kedarman (Goris, 1957 : 20).  Selain arca di sekitar Pura  Kedarman  ditemukan  batu-batu candi  dan  ada di antaranya  berbentuk batu ambang pintu. Di Pura Kedarman  yang terletak di  puncak bukit itu, mungkin  pada masa lalu pernah berdiri  sebuah candi  yang disebutkan dalam prasasti Peguyangan,  yaitu  sang hyang candi  i burwan (Soekmono, 1974 : 225)

Berdasarkan keterangan di atas, dapat  diperkirakan bahwa sang hyang  candi  i burwan, adalah bangunan candi untuk memuliakan arwah (roh) Gunaprya Dharmapatni  yang dalam wujud  pisik  diwujudkan  sebagai Durga Mahisasura-mardini. Pura  Kedarman sebagai identifikasi dari sang hyang candi i burwan  mempunyai bukti-bukti, seperti arca Durga Mahisasuramardini, batu ambang pintu, batu-batu candi, serta letaknya di atas bukit yang dianggap sebagai alam arwah atau dewa. Arca Durga Mahisasuramardini di Pura Kedarman  berukuran besar (237 cm) dan dapat dikatakan insitu  dan dapat dipakai untuk mengidentifikasi bhatari lumah i burwan (sang ratu luhur = Gunaprya Dharmapatni) sebagai seorang raja putri keturunan Jawa pada masa itu. Data lain  yang dapat dipergunakan untuk menguatkan, bahwa Pura Kedarman sebagai sang hyang candi i burwan adalah unsur kata darma pada kata Kedarman. Kata darma  (dharma bahasa Sansekerta) di samping  mempunyai arti yang lain, dapat juga berarti “candi pemujaan, pemakaman” (Mardiwarsito, 1981 : 171). Dugaan ini diperkuat oleh data prasasti  yang menyebutkan bahwa raja Jayapangus dicandikan di Dharmahanar (Pura Pengukur-ukuran) kemudian disebut bhatara ring dharmahanar (Callenfels, 1926 : 47). Kata darma (dharma) sampai sekarang masih   dipakai untuk mengidentifikasi bangunan pemujaan untuk arwah nenek moyang  (kawitan). Bangunan itu disebut pedarman yang banyak ditemukan di kompleks Pura Besakih.

Seperti telah disebutkan di atas, bahwa  bagian prasasti yang menyebutkan thani karaman  i burwan. Menurut Goris bahwa di sekitar  sang hyang candi i burwan terdapat pemukiman penduduk yang bernama  karaman (desa) burwan. Kemungkinan  kata thani di depan  kata karaman i burwan itu dapat ditafsirkan untuk menunjukkan wilayah burwan  pada masa lalu, mengingat kata thani  berarti “wilayah desa” (Goris, 1954b : 319).  Selain itu, perlu diketahui tentang mpungkwing  kutrihanar (kutrihanar)  dan mpungwing burwan  karena kedua nama tempat itu sebagai tempat kediaman pendeta Buddha. Perkataan kutrihanar terdiri atas  kuti dan hanar ; kuti (kuti bahasa Sansekerta) berarti ”biara,  asrama, pertapaan”. Sedangkan kata hanar berarti “baru”, kutihanar, berarti “asrama baru”. Kutihanar, adalah nama tempat kebudaan di Bali (Mardiwarsito, 1981 : 301).  Kata kutihanar selain tersebut dalam prasasti Tengkulak  A., juga disebutkan dalam prasasti Buwahan E, dan Campaga C (Callenfels, 1926 : 45).  Dalam prasasti  Sukawana D, dan Pengotan E  terbaca kurtihanar  dan juga menyebutkan mpungkwing burwan. Kata kutihanar yang tersebut dalam prasasti Tengkulak A  sama dalam prasasti  Buwahan E, dan Campaga  C, kemudian mengalami korespondesi bunyi pada prasasti Sukawana D, dan Pengotan E, lalu menjadi kutrihanar.  Lambat laun  terjadi  pemotongan kata sehingga  kata kutrihanar hanya diucapkan kutri saja,  dan menjadi nama  Banjar Kutri  tempat kompleks Pura Bukit Darma  sekarang.

Berdasarkan uraian di atas menurut perkiraan  bahwa  nama Pura Bukit Darma  Kutri  muncul  sejak  pura itu  dibangun atau di dirikan,  kemungkinan  nama  itu diambil dari keberadaan  (tempat di atas bukit) di mana pura itu  berada, kemudian dikaitkan dengan fungsi (sebagai pedarman).  Kemudian suatu bangunan suci  sebagai tempat pemujaan sudah tentu  ada  masyarakat  (wilayah desa) yang  bertanggung jawab atas kelangsungan  bengunan  suci  tersebut. Dengan demikian nama Pura Bukit Darma Kutri sudah muncul sejak pura itu dibangun. 



1.5  Tinggalan Arkeologi

Di situs Pura Bukit Dharma terdapat empat buah pura, yaitu Pura Puséh, Pura Bukit Dharma, Pura Ulun Carik, dan Pura Kédarman. Masing-masing pura itu berada pada teras dari sebuah bukit, yakni Pura Puséh terletak pada teras pertama, pura Ulun Carik terletak pada teras kedua, pura Bukit Dharma terletak pada teras ketiga, dan Pura Kédarman terletak di teras keempat atau di puncak bukit karang. Untuk mencapai Pura Kédarman yang terletak  di atas bukit itu melalui anak tangga (undak-undak) yang ada pada masing-masing teras yang paling banyak jumlah anak tangga nya, yaitu sebanyak 102 buah.

Dari pelinggih-pelinggih yang ada di pura tersebut tidak semuanya merupakan tempat penyimanan arca, misalnya :

-    Pura Puséh, pelinggih yang menjadi tempat penyimpanan arca, adalah satu buah pelinggih, oleh masyarakat disebut Gedong, Tungkup.

-    Pura Bukit Dharma, pelinggih yang menjadi tempat penyimpanan arca adalah dua buah, yaitu pelinggih Pesaren dan pelinggih Doko.

-    Pura Kedarman, yang letaknya di atas bukit karang dengan luas 13 x 10,24 meter terdapat sebuah pelinggih berukuran 5 x 5 meter. Pelinggih ini merupakan tempat penyimpanan arca Durga Mahisasuramardhini dan beberapa arca lainnya. Pelinggih ini selesai dipugar oleh Dinas Purbakala Bali tanggal 28 Maret 1962.

-    Penelitian terhadap situs Kutri (Pura Buklit Dharma) sudah dilakukan sebelum pecahnya perang Dunia II. Hasil penelitian itu sudah dimuat dalam buku Oudheidkundig verslag dan menyebutkan beberapa pura yang ada di Kutri, antara lain  Pura Ulun Carik, Pura Puséh, Pura Bukit Dharma, Pura Kédarman. Penelitian yang dilakukan itu bertitik beratkan pada inventarisasi (Stutterheim, 1927 : 147-148). Tetapi meskipun belum mengarah/mengacu kepada analisis, hal itu merupakan perintis jalan terhadap penelitian arkeologi di masa mendatang.

Di dalam buku Oudheiden van Bali telah dimuat analisis terhadap beberapa arca yang terdapat di pura itu. Arca-arca yang terdapat di kompleks Pura Bukit Dharma Kutri dikelompokkan pada periode Bali Kuno (abad X-XIII M), adalah kelompok Gunung Penulisan, Goa Gajah, Gunung Kawi (Stutterheim, 1929 : 116-117).

Dalam laporan tahunan Dinas Purbakala Indonesia tahun 1951 – 1952 disebutkan tentang perbaikan arca Durga di Pura Kédarman dengan pemasangan bagian yang dapat ditemukan kembali dengan mempergunakan semen sebagai perekat (Dinas Purbakala 1958 : 8).

Kemudian pada tahun 1957 terlihat kembali sebuah artikel yang berjudul ”Dinasti Warmadewa di Pulau Bali” dalam Bahasa dan Budaya yang juga menguaraikan tentang arca Durga di Pura Kédarman  dan Pura Puséh (Goris, 1957 : 20).

A.J. Bernet Kempers dalam bukunya Bali Purbakala dan Monumental Bali juga menguraikan secara singkat arca Amoghapasa di Pura Puséh dan arca Mahisasuramardhini, gamparan (bakyak) dan arca Ganesa (Bernet Kempers, 1960 : 49 dan 1977 : 166-168).

Adapun arca-arca yang terdapat di pura itu adalah sebagai berikut :

1.      Pura Puséh,

Di pura ini tersimpan 2 (dua) buah arca yaitu :

1.      Arca Durga Mahisasuramrdhini , dan

2.      Arca Amoghapasa.

2.      Pura Bukit Dharma

Di pura ini tersimpan 6 (enam) buah arca yang terdiri dari 5 buah arca perwujudan Bhatara dan 1 (satu) buah arca Buddha

3.      Pura Kédarman

Di pura ini terdapat 9 (sembilan) buah arca dan benda kuno lainnya, terdiri 5 buah arca perwujudan Bhatara/Bhatari, 1 buah lingga ganda, 1 buah gamparan, 1 buah arca ganesa, dan 1 buah arca Durga Mahisasuramardhini.

Di pura tersebut disimpan arca dewa dan perwujudan, dan konsepsi dasar pemujaan arca perwujudan adalah kepercayaan terhadap roh leluhur. Untuk itu terlebih dahulu harus berpijak pada zaman prasejarah. Karena pada zaman itu terdapat kepercayaan, bahwa puncak gunung atau pegunungan adalah sebagai alamnya arwah (Linus, 1983 : 6). Untuk itu, pemujaan terhadap roh leluhur mereka mendirikan menhir, tahta batu, punden berundak (Darmosoetopo, 1984 : 117).

Pemujaan terhadap nenek moyang berlatar belakang dari adanya penghormatan terhadap jasanya yang melindungi keturunannya. Dan untuk menunjukkan letak tinggi (gunung atau bukit) itu, maka tidak jarang sebuah menhir di dirikan di atas sebuah bangunan berundak-undak.

Setelah bangunan berbentuk menhir tidak dibuat lagi, sering terjadi tempat pemujaan roh nenek moyang diwujudkan dalam bentuk arca-arca (Soekmono, 1973 : 77). Temuan arca-arca dari zaman prasejarah di antaranya nenek moyang terdapat di Pasemah. Untuk daerah Bali, arca-arca dari zaman prasejarah ditemukan di Depaa Kabupaten Buleleng, pura Besakih Desa Keramas (Blahbatuh, Gianyar), dan lain-lainnya. Arca-arca di pura Besakih Keramas memeperlihatkan sikap menyembah sebagai salah satu unsur sikap arca perwujudan leluhur (Mahaviranata, 1980 : 119).

Sekitar abad ke-5 pengaruh Hindu masuk di Indonesia, dengan penemuan prasasti Tugu. Dalam prasasti tersebut terdapat kalimat yang menyebutkan, bahwa raja Purnawarman mengatakan dirinya titisan dewa Wisnu dengan gambar telapak kaki dewa Wisnu (Poerbatjaraka, 1951 : 13). Selain ditemukan arca Wisnu di Cibuaya yang diperkirakan berasal dari abad ke-6 dan ke-7 Masehi (Tim Penulisan Naskah Pengembangan Media Kebudayaan Jawa Barat,1977 : 42).

Pengaruh Hindu itu bukan saja berkembang di Jawa Barat, tetapi juga berkembang di Jawa Tengah dengan hasil seni klasiknya yang menampakkan kelemah-lembutan dengan konsepsi kedewataan India (Suparto, 1956 : 58). Hal ini dapat dibuktikan pada arca Wisnu di Candi Banon, arca Buddha di Candi Borobudur, arca Siwa di Candi Prambanan (Soekmono, 1973 : 94-97).

Pada masa Jawa Timur, di Bali nampak terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap ketentuan ikonografi India yang dapat diketahui dari langgam arca yang mulai menampakkan sikap kaku (seperti mayit), dan pemberian atribut. Penyimpangan itu terjadi karena konsep dasar pengarcaan di Indonesia berbeda dengan konsep ikonografi India, sehingga arca dewa dengan atribut yang menyimpang menggambarkan arca perwujudan tokoh (Geria, 1986 : 41).

Dalam Kamus Arkeologi I, arca perwujudan merupakan perwujudan   dewa yang disembah oleh penganutnya untuk tujuan pemujaan. Di Indonesia seorang raja telah wafat diarcakan sesuai dengan agama yang dianutnya. Di samping tanda-tanda kedewataan yang dibawanya, arca perwujudan ini bertangan dua yang ditekuk sejajar perut dengan telapak tangan menghadap ke atas, memegang kuncup bunga teratai (Ayatrohaedi, 1981 : 18).

Kemudian Ir. J.L. Moens mengupas mengenai benda bulatan yang dibawa oleh arca-arca itu dalam hubungannya dengan pembebasan jiwa. Bulatan (bunga teratai) itu erat hubungannya dengan roh seorang dalam usahanya mencapai kebahagiaan rohani. Sebab, apabila seorang masih hidup, rohaninya masih diselimuti oleh karma (perbuatan) dan badan kasar. Tapi lama kelamaan, jiwa halus itu akan bebas juga. Dengan demikian, tiap arca yang membawa bulatan dalam arti atribut yang menyimpang dari biasanya, dapat disebut arca perwujudan atau patung potret (Mantra 1960 : 6).

Di Bali banyak ditemukan arca yang tergolong perwujudan, tetapi tidak jelas tokoh yang diarcakan. Dalam perkembangan arca perwujudan di Bali sekitar abad 10-13 Masehi, lebih cendrung mengarah kepada perwujudan raja-raja.

Dari data prasasti Bali dapat diketahui, bahwa raja itu adalah titisan dewa. Hal ini dapat dibuktikan dari prasasti atas nama raja Jaya Sakti (1133-1150 Masehi), menyebutkan raja sebagai perwujudan dewa Wisnu (Astra 1982 : 6).

Oleh sebab itu, terjadilah penyatuan pandangan terhadap roh leluhur dengan dewa. Apabila raja meninggal akan kembali kepada dewa penitisannya. Kemudian, bila seorang mengadakan upacara/pemujaan terhadap roh leluhur sekaligus memuja dewa.

Di Bali, pembuatan arca perwujudan tidak berkelanjutan lagi sejak masa pemerintahan Dalem Watu Renggong (abad 15-16 Masehi). Ketika Dang Hyang Nirarta menjadi Porohito di Bali, tradisi pembuatan arca perwujudan itu tidak dilakukan lagi, dan Atmapratistha tidaklagi dibuat dalam bentuk arca, melainkan dengan menggunakan Daksina  Pelinggih yang sifatnya sementara (Geria 1986 : 44).

No comments: