Thursday, October 18, 2012

Pura Goa Gajah

Nama BCB/Situs : Pura Tirtha Empul
Lokasi : Desa Manukaya
Periode :
Deskripsi : Pura Tirtha Empul terletak di Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Pura ini dapat dicapai dengan mudah, karena telah dihubungkan dengan jalan raya yang sangat baik. Dari Denpasar, perjalanan akan menempuh jarak sekitar 32 km. melalui jurusan Desa Bedulu – Pejeng – Tampaksiring. Untuk sampai di lokasi, pada pertigaan jalan sebelum memasuki area Istana Negara Tampaksiring terdapat jalan membelok ke kanan. Setelah menempuh jarak sekitar 1 km. maka tibalah di Pura Tirtha Empul.

 Secara astronomis posisi Pura Tirtha Empul terletak pada 115°18' 43”. Bujur Timur dan 8° 10' 30”. Lintang Selatan, dengan ketinggian 479 meter di atas permukaan laut. Suhu rata-rata pada situs ini adalah 23° C dan curah hujan pertahun mencapai 1618 mm., sedangkan penguapan rata-rata 3,5 kg/meter persegi dengan kelembaban udara 76 %. Kondisi klimatologis seperti ini menyebabkan suhu yang sejuk di dalam Pura, namun kelembaban yang sangat tinggi juga menyebabkan tumbuhnya jasad organis seperti rumput-rumputan, lumut dan jamur. Pertumbuhan jasad organis dapat menimbulkan pelapukan biologi pada beberapa kekunaan. Lingkungan mikro yang sangat lembab ini disebabkan oleh karena letak Pura Tirtha Empul paling rendah jika dibandingkan dengan tempat disekitarnya yang merupakan bukit-bukit kecil. Tempat yang rendah ini nampaknya disebabkan Pura Tirtha Empul berorientasi pada mata air yang pada umumnya terdapat pada bagian yang paling rendah.

Memasuki wilayah Tirtha Empul, kita berhadapan dengan panorama yang indah. Di dekat pura, di arah sebelah timur sungai kecil terdapat puluhan warung-warung makanan, minuman dan kios-kios kesenian Bali. Disamping itu terdapat pula halaman parkir yang cukup luas untuk menampung kendaraan pengunjung. Fasilitas ini tersedia karena Pura Tirtha Empul merupakan salah satu dari obyek yang mendapat kunjungan wisatawan cukup ramai di Bali, khususnya di Gianyar selain obyek yang lain seperti Goa Gajah dan Gunung Kawi.

Di sebelah barat Pura Tirtha Empul, pada sebuah perbukitan terletak Istana Negara Tampaksiring yang sangat indah, disebelah timurnya mengalir Sungai Pakerisan yang kaya dengan peninggalan purbakala. Dari Istana Negara kalau pandangan ditujukan ke arah timur terlihat Pura Pegulingan. Sekitar 400 meter di sebelah selatan Pura Tirtha Empul terletak Pura Mengening yang memiliki sumber air suci dan sebuah bangunan kuna berbentuk candi (prasada) yang telah selesai dipugar oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bali-NTB-NTT-TIMTIM bersama dengan masyarakat setempat. Kurang lebih 250 meter di sebelah barat Pura Mengening terdapat Pura Penataran Sarasidi yang menyimpan arca perwujudan yang diperkirakan berasal dari abad ke 11 dan 12 Masehi. Pura Tirtha Empul terdiri dari tiga halaman yaitu halaman dalam (jeroan), halaman tengah (jaba tengah) dan halaman luar (jabaan), dengan peninggalan purbakalanya berada di halaman dalam

Riwayat Penemuan Situs

Nama Tirtha Empul untuk pertama kali dapat dijumpai pada laporan tahunan Dinas Purbakala (Oudheidkunding Dienst/OD) yaitu Oudheidkunding Verslag (OV) 1924. Dalam laporan ini terdapat foto prasasti di Pura Sakenan Manukaya yang memuat nama tempat suci Tirta Emput (OD 0, OD 8711). Alih aksara pertama dari prasasti ini dimuat dalam buku Oudheden van Bali (1), Het Ouderijk Van Pejeng, teks (stutterheim, 1929 : 68-69). Menurut informasi dari masyarakat setempat bahwa dahulu ada tradisi mengusung prasasti itu setiap Purnama Kapat (kartika) ke Tirtha Empul. Disebutkan pula bahwa prasasti yang sekarang berada di Pura Sakenan Manukaya pada awalnya tersimpan di Pura Sakenan Sarasidi, Tampaksiring sekitar 500 meter di sebelah selatan Pura Tirtha Empul. Dari kegiatan inventarisasi yang dilakukan OD pada tahun 1972 di Pura Tirtha Empul berhasil didaftar peninggalan klasik berupa sebuah arca pancuran, sebuah lingga kecil, sebuah lingga dengan yoni dan arca pancuran berbentuk singa dan nandi (OV,1927 : 140). Pada situs ini, dahulu juga terdapat bebaturan kuna dan beberapa batu lepas (Kempers, 1977 : 160).

Penelitian Dr.R.Goris terhadap prasasti-prasasti dari jaman Bali Kuna mengklasifikasikan prasasti Manukaya sebagai tipe “punah (muwah) ing saka” yaitu prasasti-prasasti yang berbahasa Bali kuna dari tahun 951 – 983 Masehi. Tentang angka tahunnya Goris hanya memberi catatan dari pembahasan Damais, tetapi dalam alih aksara dibuatkan beberapa perbaikan dan nama raja yang menerbitkannya dibaca Chandrabhayasingha Warmmadewa (Goris, 1954 : 12, 75-76). Raja Chandrabhayasingha Warmmadewa merupakan salah satu dari raja Bali yang merupakan keturunan dari dinasti Warmadewa. Raja-raja Bali yang disebutkan sebagai keturunan dari dinasti Warmadewa adalah Sang Ratu Haji Tabanendra Warmmadewa, Sang Ratu Sri Chandrabhayasingha Warmmadewa, Sang Ratu Sri Janasadhu Warmmadewa, Sri Dharma Udayana Warmmadewa dan Sri Bhatara Mahaguru Dharmmothungga Warmmadewa (Goris, 1957, Ardika, 1984 : 50-58).

Sebagai cikal bakal dari dinasti Warmadewa di Bali diduga Adipati Sri Kesari Warmmadewa. Pemerintahannya berlangsung 17 bulan lebih awal dari raja Ugrasena yang memerintah di Bali selama 21 tahun (saka 837-858). Kedua nama itu hampir mempunyai arti yang sama yaitu “Pemimpin perang yang mengerikan”. Mungkinkah Adipati Sri Kesari Warmmadewa identik dengan Raja Ugrasena? (Ardika,1983).

Pada tahun 1976 penelitian yang dilakukan oleh sebuah tim yang terdiri dari Drs. M.M. Soekarto K. Atmojo, Drs. Putu Budiastra, Anak Agung Ngurah Agung dan I Gede Semadi Astra membaca nama raja yang menerbitkan prasasti itu “Indrajayasingha Warmmadewa” dan angka tahunnya sesuai dengan pembahasan Damais yaitu 960 Masehi. Sedangkan nama desa disebut Manukraya dan tempat sucinya (pura) bernama Tirtha di Air Mpul (Soekarto K. Atmojo dkk, 1977 : 14).

Selain dari uraian tersebut di atas nama Yeh Empul/Tirtha Empul dapat diketahui melalui cerita rakyat yang berkembang sampai sekarang dan bersumber dari lontar Usana Bali. Isi dari lontar ini diantaranya mengisahkan bahwa pada jaman dahulu kala pasukan Gandarwa yang dipimpin oleh Bhatara Indra berangkat dari kedewatan (kahyangan) ke Bali. Bhatara Indra dengan pasukannya turun di kahyangan Basukih, kemudian berangkat ke barat menyerang Raja Mayadanawa di Bedahulu. Pasukan gandarwa berhasil mengalahkan pasukan Mayadanawa, Raja Mayadanawa melarikan diri ke arah utara, tetapi dikepung terus oleh pasukan gandarwa. Setelah sampai di Desa Manukaya Raja Mayadanawa berubah wujud menjadi manuk (ayam jantan). Sementara itu disebutkan di sebelah selatan Desa Manukaya terdapat suatu tempat yang bernama Alas Pegulingan. Di tempat inilah Patih Kala Wong (Patih dari Mayadanawa) membuat Tirtha Mala yang menyebabkan kematian dari pasukan gandarwa. Keadaan ini menyebabkan Bhatara Indra menciptakan Yeh Empul untuk menandingi kehebatan Patih Kala Wong. Tirtha dari Yeh Empul itu kemudian dipercikkan kepada para gandarwa yang telah mati, sehingga berhasil hidup kembali. Pengepungan Mayadanawa diteruskan sampai di Pangkung Patas, di tempat inilah Mayadanawa dan Patih Kala Wong berubah menjadi batu padas. Melihat kenyataan ini segera Bhatara Indra memanah dan mengutuk : “moga kita mati mandadi paras, medal rah kita mandadi paras” (Usana Bali, 11/6-8). Cerita Mayadanawa yang berkaitan dengan situs Tirtha Empul ini lebih populer pada masyarakat Bali dibandingkan dengan prasasti Manukaya. Seperti telah diuraikan di atas (3.2.1) di sebelah timur Pura Tirtha Empul terdapat Pura Pegulingan, mungkin alas pegulingan yang disebutkan dalam Usana Bali identik dengan Pura Pegulingan, tentu ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

Deskripsi

Kepurbakalaan di Pura Tirtha Empul terletak di halaman dalam (jeroan) di sebelah barat kolam suci Tirtha Empul dan disekitar pancuran (saluran air kolam). Adapun peninggalan tersebut adalah :

A. Di Pelinggih Pejenengan (di samping utara kolam suci) :

1. Fragmen Arca Perwujudan

Fragmen arca ini berukuran tinggi 49 cm. lebar 27 cm. berbahan batu padas. Berdasarkan langgam/ciri badan arca diperkirakan berasal dari sekitar abad 10-11 Masehi.

2. Fragmen Bangunan

Berdasarkan bentuknya, fragmen bangunan ini diperkirakan merupakan bagian dari susunan (tingkat) atap prasada. Fragmen yang berbahan batu padas ini pada bagian sisi-sisinya telah ditumbuhi lumut, sedangkan bagian sudut dan bawahnya dalam keadaan aus, berukuran tinggi 47 cm. lebar 43 cm. Berdasarkan bentuknya diperkirakan berasal dari abad 10-11 Masehi.

3. Fragmen Bangunan

Fragmen bangunan ini menurut dugaan merupakan bagian hiasan puncak bangunan (sejenis menur), berbahan batu padas, berukuran tinggi 47 cm., lebar 35 cm., dan tebal 17 cm.

B. Di Pelinggih Pejenengan (kompleks halaman jeroan) berupa 4 buah batu alam.

C. Di tengah kolam suci Tirtha Empul

Terdapat 4 buah fragmen bangunan terbuat dari bahan batu padas, bentuk fragmen menyerupai pola perbingkaian, dengan bagian tengah berisi lobang berbentuk persegi empat mengikuti bentuk sisinya. Bagian sisi lubang berukuran 49 cm. sebagian dari ke empat fragmen bangunan ini kini dalam keadaan terendam air kolam. Kedudukan fragmen terlihat berderet sejajar, dua buah disebelah barat dan dua buah lainnya di sisi timur. Menurut informasi dari pengemong pura, fragmen bangunan ini dahulu digunakan sebagai bagian saluran air kolam yang menuju wilayah Desa Pejeng untuk kepentingan pertanian.

D. Di Pelinggih arca, bagian sebelah barat kolam suci Tirtha empul

Di pelinggih ini terdapat empat buah peninggalan purbakala, berupa :

1. Lingga yang terletak (berdiri) pada lubang yoni, berbahan batu padas, berukuran tinggi 21 cm., dan lebar 16 cm., Sedangkan yoni yang berada dibawahnya, bagian sisinya berukuran 50 cm.

2. Sebuah arca Lembu (Nandi) berbahan batu padas, berukuran panjang 82 cm. dengan lebar 37 cm.

3. Sebuah arca singa berbahan batu padas, berukuran panjang 58 cm., lebar 32 cm., dan tinggi 56 cm.

E. Di Komplek Pancuran (kolam)

Pada bagian deretan 31 buah pancuran yang berjajar dari barat ke timur terdapat empat buah peninggalan purbakala sebagai penghias lobang saluran pancuran. Kekunaan ini berupa :

1. Sebuah Jaladwara berupa arca singa di atas kepala gajah, terletak pada bagian atas lobang pancuran

2. Tiga hiasan Jaladwara, berukuran tinggi 66 cm., dan lebar 20 cm. Menurut informasi pengemong pura disebutkan air pancuran ini sejak dahulu diyakini mengandung unsur sakral serta berfungsi dalam kaitan dengan upacara agama sebagai air suci (tirtha)

No comments: